Mendengar nama obyek wisata yang satu ini bisa mengundang rasa penasaran. Bagaimana tidak, bila selama ini, Nias hanya dikenal dengan keindahan pantainya, kali ini Anda akan diajak untuk berkunjung ke satu obyek wisata yang tidak kalah menarik. Menarik karena cerita yang ada di baliknya, juga menarik—karena mungkin hanya ada satu-satunya di Pulau Nias.
Tõgindrawa, terdiri dari dua kata, yaitu tõgi (gua), dan ndrawa (orang asing, kadang juga berarti kaum muslim), merupakan sebuah obyek wisata alam yang ada di Desa Lõlõwõnu Niko’otanõ, Kecamatan Gunungsitoli, sekitar lima kilometer dari pusat Kota Gunungsitoli. Untuk sampai di tempat ini, pengunjung dapat menempuh tiga jalur yakni melalui Desa Hilina’a (sekitar satu kilometer), Desa Lõlõwõnu Niko’otanõ (sekitar dua kilometer) atau Desa Sihare’õ Siwahili (sekitar lima kilometer). Ketiga desa yang berdampingan ini membuka akses yang sama untuk menuju ke Gua Tõgindrawa. Saat NBC mengunjungi lokasi, jalur ditempuh melalui Desa Hilina’a, dan saat pulang menggunakan jalur Desa Lõlõwõnu Niko’otanõ.
Jalur yang ditempuh melalui Desa Hilina’a ini berupa jalan setapak yang baru saja diresmikan penggunaannya pada April 2012 oleh Museum Pusaka Nias. Hal ini karena ada sebuah rumah adat tradisional Nias yang dibangun tidak jauh dari Tõgindrawa ini. Dengan jalan setapak tersebut, diharapkan dapat mempermudah wisatawan untuk mengunjungi gua sekaligus rumah adat tradisional Nias. Meskipun hanya berjarak 865 meter, tetapi karena kondisi geografis yang berbukit ini, bisa membuat pengunjung kelelahan.
“Orang memang sering berkunjung ke sana, tetapi tidak seramai dulu. Kalau sekarang mungkin hanya sesekali karena aksesnya yang agak susah. Lumayan, sekarang sudah ada jalan setapak,” ujar Arman Ndraha (36), salah seorang warga Desa Hilina’a. Bapak yang biasa dipanggil Ama Richard Ndraha ini juga sering menjadi pemandu bagi pengunjung ke Tõgindrawa.
Selama perjalanan Anda tidak perlu khawatir karena sinyal telepon seluler sampai menjangkau tempat ini. Akan tetapi, jika sudah di dalam gua, sinyal ponsel sulit didapatkan.
Kesan misterius tampak bilamana pengunjung memasuki area gua yang ditumbuhi sebatang pohon beringin serta kondisi yang benar-benar senyap. Tapi jangan salah, lokasi ini justru sering dijadikan sebagai tempat untuk shooting klip video lagu Nias. Bahkan, pembuatan film Nias garapan Pontianus Gea beberapa waktu lalu menjadikan tempat ini sebagai lokasi shooting.
“Saya sangat penasaran dengan tempat ini. Ada sesuatu yang membuat saya ingin berkunjung lagi ke sini,” tutur Leni Mendrõfa (23), salah seorang pengunjung, saat ditanyai tentang kesannya terhadap obyek wisata yang langka ini. Leni bersama dua rekannya mengaku telah dua kali mengunjungi tempat ini.
Jika ingin memasuki Tõgindrawa, jangan lupa menyiapkan alat penerang sehingga Anda bisa melihat bagian dalamnya dengan jelas. Gua ini terdiri dari beberapa gua kecil di sisi luarnya, sementara gua utama, panjangnya sekitar 100 meter, lebar sekitar 10 meter, dan tinggi sekitar enam meter. Dinding gua yang tidak beraturan dan dihuni oleh kelelawar ini membuat pemandangan menambah rasa penasaran pengunjung.
Sayangnya, gua ini tidak dijaga kealamiahannya. Selain sampah, di dinding gua—banyak terdapat coretan-coretan yang sengaja ditulis oleh beberapa pengunjung sebagai kenang-kenangan.
Cerita di Balik Tõgindrawa
Meski terdengar angker, gua yang cukup eksotik ini tidak memiliki cerita misteri menakutkan. Tetapi, tetap saja cerita yang berkembang di tengah masyarakat tentang keberadaan gua tersebut yang masih menyisakan misteri yang belum terjawab sampai sekarang.
Versi pertama menyebutkan bahwa gua ini merupakan sebuah tempat tinggal dari dua bersaudara—laki-laki dan perempuan, yang sebelumnya tinggal di daerah Laowömaru. Karena semakin bertambahnya manusia di sekitar daerah tersebut, kedua bersaudara ini memutuskan untuk berpisah, yang perempuan menetap di daerah Laowömaru sementara yang laki-laki tinggal di gua ini.
“Jika diperhatikan, ada sebuah batu yang mirip manusia, yang dipercayai sebagai jelmaan manusia yang dulu pernah tinggal di sini,” ungkap Sõkhi’atulõ Halawa (34), salah seorang warga desa setempat kepada NBC.
Menurut Sõkhi’atulõ atau yang biasa disapa Ama Loren Halawa ini, keberadaan batu yang mirip manusia itu merupakan daya tarik utama di dalam gua tersebut.
Cerita ini dikaitkan dengan keberadaan terowongan yang menghubungkan antara Tõgindrawa dan Laowömaru yang pernah diuji coba oleh anak-anak Pramuka di Gunungsitoli, meskipun belum berhasil sampai ke ujung terowongan yang dimaksud.
Versi lain menyebutkan, Tõgindrawa ini adalah tempat persembunyian kaum muslim (ndrawa) pada masa perang. Hal ini juga bisa masuk akal bila menilik arti nama gua ini secara harafiah.
Hal lain yang berkembang di masyarakat adalah ketika mengunjungi tempat ini, seorang pengunjung harus membersihkan diri dari segala pikiran buruk dan berniat jahat, jika tidak—sesuatu hal yang buruk akan menimpa si pengunjung tersebut.
Tiap Tahun Berkurang
Jumlah pengunjung yang semakin berkurang setiap tahun disadari betul oleh masyarakat sekitar. Pada 1990-an, gua ini masih sering dijadikan sebagai lokasi kegiatan Pramuka, tetapi belakangan—hal itu sudah sangat jarang ditemui.
“Kami berharap agar kegiatan seperti itu digerakkan kembali sehingga semakin banyak orang yang berkunjung ke sana,” ujar Ama Richard Ndraha dan Ama Loren Halawa pada NBC.
Menurut mereka, bila kunjungan meningkat tentu akan berdampak pada perkembangan daerah tersebut. Terlebih keberadaan Tõgindrawa meliputi tiga desa, yakni Hilina’a, Lõlõwõnu Niko’otanõ, dan Sihare’õ Siwahili.
Akses jalan yang memadai tentu sudah menjadi harapan utama bagi mereka. Mereka sangat berharap, pemerintah daerah akan memberikan perhatian terhadap pengembangan obyek wisata alam ini.
Sumber: http://www.nias-bangkit.com/
0 komentar:
Posting Komentar